Selasa, 21 April 2015

Burung Bul-Bul dan Bunga Mawar
Oleh: Oscar Wilde


“Dia bilang, dia baru mau menari denganku kalau aku memberinya bunga mawar merah,” pekik Anak Sekolah itu; “tapi di kebunku, tidak ada mawar yang berwarna merah.”
Dari dalam sarangnya di Pohon Oak di seberang sungai, Burung Bul-Bul mendengarnya, dan di antara rimbun dedaunan dia memerhatikannya, dengan rasa ingin tahu.
“Tidak ada mawar merah di kebunku!” Anak Sekolah itu memekau, dan matanya yang indah dipenuhi air mata. “Ah kawan, betapa kebahagian itu bergantung pada hal-hal kecil! Aku sudah membaca semua tulisan orang-orang bijak, dan semua rahasia filsafat aku pun tahu, namun betapa keinginan untuk setangkai mawar merah ini bisa merusak hidupku.”
“Akhirnya, seseorang dengan cinta yang tulus,” kata Burung Bul-Bul. “Setiap malam aku nyanyikan pujian untuknya, walaupun aku tak mengenalnya; setiap malam kisahnya kuceritakan kepada bintang-bintang, dan sekarang aku telah menemukannya. Rambutnya sepekat bunga Hyacinthus orientalis yang sedang merekah, dan bibirnya merah seumpama mawar yang diidamkannya; tapi, nafsu membuat wajahnya sepucat gading, dan nestapa terukir di dahinya.
“Pangeran akan berpesta besok malam,” sungut Anak Sekolah itu, “dan gadis impianku akan datang. Jika aku bawakan dia mawar merah, dia akan mau menari denganku hingga fajar. Jika aku bawakan dia mawar merah, aku akan dapat memeluknya, dan bersandarlah kepalanya di pundakku, dan tangannya akan saling bertautan dengan tanganku. Tapi, tidak ada mawar merah di kebunku, maka aku akan duduk di sana kesepian, dia akan melewatiku. Dan dia tidak akan mengindahkanku, dan aku pasti akan patah hati.”
“Dia adalah seorang dengan cinta yang tulus,” kata Burung Bul-Bul. “Yang selama ini aku nyanyikan adalah penderitaannya – bahagia untukku, nestapa untuknya. Cinta adalah hal yang mengagumkan. Lebih berharga dari batu zamrud, lebih indah dari batu opal. Mutiara dan delima tidak dapat membelinya, Cinta tidak dijual di pasar. Cinta tidak bisa dibeli, bahkan tidak dapat dinilai dengan emas sekalipun.”
“Para pemusik akan duduk di galeri,” Anak Sekolah itu berkata, “dan akan memainkan alat musiknya yang bersenar, dan gadis pujaanku akan menari diiringi suara harpa dan biola. Menarilah dia dengan ringan hingga kakinya melayang, dan seisi istana dengan pakaian berwarna-warni akan mengerubutinya. Tapi denganku dia tidak mau menari, karena aku tidak membawakannya mawar merah”; lalu dia menjatuhkan diri ke rumput, dan membenamkan mukanya kedalam kedua telapak tangannya, dan dia menangis.
“Kenapa dia menangis?” tanya Kadal Hijau kecil, ketika dia, dengan buntutnya yang melambai-lambai, berlari melewatinya.
“Iya, kenapa?” kata seekor Kupu-Kupu, yang sedang terbang di bawah sinar matahari.
“Iya, kenapa?” bisik bunga Daisy kepada setangganya, dengan suara yang lembut dan pelan.
“Dia menangis karena sekuntum mawar merah,” kata Burung Bul-Bul
“Karena mawar merah?” mereka berseru; “betapa konyolnya!” dan Kadal kecil, yang suka mengolok, tergelak seketika.
Namun Burung Bul-Bul memahami rahasia nestapa sang Anak Sekolah, dan dia diam bertengger di pohon oak, sembari merenungi misteri Cinta.
Seketika dia merentangkan sayap coklatnya kemudian terbang, dan membumbung tinggi ke udara. Dia terbang di atas belukar bagai bayang-bayang, dan seperti bayang-bayang pula dia melayang membelah kebun.  
Di tengah rerumputan, tumbuh sebuah Pohon Mawar yang cantik, dan ketika dia melihatnya, dia terbang mendatanginya.
“Berikan aku mawar merah,” pekiknya, “dan aku akan menyanyikan untukmu bait yang terindah.”
Tapi Pohon itu menggeleng.
“Mawarku berwarna putih,” jawabnya; “seputih buih di samudera, dan lebih putih dari salju di puncak gunung. Tapi, pergilah ke tempat saudaraku yang tumbuh di sekeliling jam matahari, mungkin dia akan memberikan apa yang engkau inginkan.”
Kemudian Burung Bul-Bul melayang mendatangi Pohon Mawar yang tumbuh di sekeliling jam matahari.
“Berikan aku mawar merah,” pekiknya, “dan aku akan menyanyikan untukmu bait yang terindah.”
Namun Pohon itu menggeleng.
“Mawarku berwarna kuning,” jawabnya; “sekuning rambut putri duyung yang duduk di singgasana batu amber, dan lebih kuning dari bunga daffodil yang tumbuh di padang rumput sebelum pemotong rumput datang dengan sabitnya. Tapi, datanglah ke tempat saudaraku yang tumbuh di bawah jendela Anak Sekolah, mungkin dia akan memberi apa yang engkau inginkan.”
Lalu Burung Bul-Bul terbang mendatangi Pohon Mawar yang tumbuh di bawah jendela Anak Sekolah.
“Berikan aku mawar merah,” pekiknya, “dan aku akan menyanyikan untukmu bait yang terindah.”
Namun Pohon itu menggeleng.
“Mawarku berwarna merah,” jawabnya, “semerah kaki merpati, dan lebih merah dari karang kipas yang melambai-lambai di gua dasar lautan. Tapi, musim dingin telah membekukan nadiku, dan embun beku merusak kuncup bungaku, dan badai telah mematahkan tangkaiku, dan aku tidak punya mawar barang sekuntum sepanjang tahun ini.”
“Yang kupinta hanya sekuntum mawar merah,” seru Burung Bul-Bul, “hanya sekuntum mawar merah! Apakah tidak ada cara lain agar aku bisa mendapatkannya?”
“Ada satu cara,” jawab Pohon itu; “tapi cara ini sangatlah buruk sampai mengatakan kepadamu pun aku tak sanggup.”
“Katakan padaku,” kata Burung Bul-Bul, “aku tidak takut.”
“Jika engkau menginginkan sekuntum mawar merah,” kata Pohon itu, “engkau harus menciptakannya dengan nyanyian di bawah sinar rembulan, dan lumuri dengan darah dari jantungmu. Engkau harus bernyanyi untukku sambil menacapkan dadamu ke duriku. Sepanjang malam engkau harus tetap bernyanyi, dan duri itu harus menembus jantungmu, dan darahmu harus mengalir ke dalam nadiku dan menjadikannya milikku.”
“Kematian adalah harga yang pantas untuk sekuntum mawar merah,” kata Burung Bul-Bul, “dan Kehidupan ini sangat bernilai untuk semua kita. Sangatlah menyenangkan duduk di dalam hutan yang hijau, dan melihat Matahari bertengger di atas kereta keemasannya, dan Bulan di atas kereta mutiaranya. Aroma semak-semak yang wangi, aroma wangi bunga bluebell yang bersembunyi di lembah, dan bunga heather yang bermekaran di atas bukit. Tapi Cinta lebih baik daripada Kehidupan, dan apalah arti jantung seekor burung dibanding hati seorang manusia?”
Dan lalu dia membentangkan sayapnya dan terbang membumbung tinggi ke udara. Dia melayang di atas kebun itu seperti bayang-bayang, dan seperti bayang-bayang dia mengitari semak belukar.
Anak Sekolah itu masih terbaring di rerumputan, di mana tadi Burung Bul-Bul meninggalkannya, dan air mata di pelupuk mata indahnya belumlah kering.
“Bergembiralah,” seru Burung Bul-Bul, “bergembiralah; engkau akan mendapatkan mawar merahmu. Aku akan menciptakannya dari nyanyian di bawah sinar rembulan, dan melumurinya dengan darah dari jantungku sendiri. Yang aku inginkan darimu hanyalah agar kau tetap menjadi pecinta yang tulus, karena Cinta itu lebih bijaksana dari Filsafat, meski dia bijak, dan lebih kuat dari Kekuatan, meski dia kuat. Sayapnya berwarna bagai api, dan tubuhnya berwarna serupa api. Bibirnya semanis madu, dan nafasnya seharum kemenyan.”
Anak Sekolah itu menengadah, dan mendengarkan, namun dia tidak dapat memahami apa yang dikatakan Burung Bul-Bul kepadanya, karena dia hanya mengetahui hal-hal yang tertulis di buku.
Tapi Pohon Oak itu mengerti, dan bersedih, karena dia sangat menyukai Burung Bul-Bul kecil yang membangun sarang di cabangnya itu.
“Nyanyikan aku sebuah lagu untuk terakhir kali,” bisiknya; “aku akan merasa kesepian jika nanti engkau telah pergi.”
Lalu Burung Bul-Bul bernyanyi untuk Pohon Oak, suaranya terdengar seperti gelembung air yang keluar dari buli-buli perak.
Setelah dia selesai bernyanyi, sang Anak Sekolah bangkit dan mengambil buku catatan kecil dan pinsil arang dari dalam sakunya.
“Dia punya wujud yang indah,” katanya pada diri sendiri, seraya berjalan menembus belukar – “itu tak dapat dipungkiri; tapi apakah dia punya perasaan? Aku kira tidak. Bahkan, dia mirip seperti seniman kebanyakan; hanya gaya yang dia miliki, tanpa ada ketulusan. Dia tidak akan bersedia untuk mengorbankan dirinya untuk orang lain. Dia hanya berpikir tentang musik, dan semua orang pun tahu kalau seni itu egois. Namun tetap saja, harus diakui kalau dia memiliki nada yang indah dalam suaranya. Sayang sekali semua itu tidak memiliki arti, pun tidak berguna.” Dan dia pergi ke kamarnya, dan berbaring di atas kasur jerami kecilnya, dan mulai memikirkan tentang pujaan hatinya; dan, setelah beberapa saat, dia tertidur.
Ketika Bulan bersinar dari surga, Burung Bul-Bul pun terbang menuju Pohon Mawar, dan kemudian menancapkan dadanya ke durinya. Sepanjang malam dia bernyanyi dengan dada yang menancap di duri, Bulan yang dingin dan bening bersandar dan mendengarkan. Sepanjang malam dia bernyanyi, dan duri itu menusuk dadanya semakin dalam dan semakin dalam, dan darah-kehidupannya semakin surut meninggalkannya.
Pertama dia bernyanyi mengenai berseminya cinta dalam hati seorang anak laki-laki dan perempuan. Dan dari kuntum tertinggi dari Pohon Mawar itu bersemilah mawar yang mengagumkan, kelopak demi kelopak, lagu demi lagu. Pucat, awalnya, seperti kabut yang bergelayut di atas sungai – pucat seperti kaki pagi, dan keperakan seperti sayap fajar. Seperti bayangan bunga mawar dalam cermin perak, seperti bayangan bunga mawar dalam air kolam, seperti itulah bunga mawar yang mekar dan bersemi di kuntum paling atas dari Pohon Mawar itu.
Tapi Pohon itu berseru kepada Burung Bul-Bul untuk menekan lebih kuat. “Tekan lebih kuat, Bul-Bul kecil,” kata Pohon, “atau Fajar akan menyingsing sebelum bunga mawar ini selesai.”
Lalu Burung Bul-Bul menekankan dadanya lebih dalam ke arah duri, dan nyanyiannya pun semakin keras dan semakin keras, karena dia bernyanyi tentang berseminya gairah dalam jiwa seorang pria dan seorang gadis.
Dan warna merah muda samar-samar merona membasahi kelopak daun bunga mawar, merona seperti muka mempelai pria ketika dia mengecup bibir mempelai wanita. Namun duri itu belum menusuk jantungnya, sehingga jantung bunga mawar masih tetap berwarna putih, karena hanya darah dari jantung Burung Bul-Bul lah yang dapat memerahkan jantung sang bunga mawar.
Dan sang Pohon berteriak kepada Burung Bul-Bul agar menekan lebih lebih kuat lagi. “Tekan lebih kuat lagi, Bul-Bul kecil,” teriak Pohon, “atau Fajar akan menyingsing sebelum mawar ini selesai.”
Kemudian Burung Bul-Bul menekankan dadanya lebih dalam hingga duri menyentuh jantungnya, dan rasa sakit yang tiba-tiba lalu menyengatnya. Getir, getirnya penderitaan, dan semakin liar nyanyiannya, karena dia bernyanyi tentang Cinta yang disempurnakan oleh Kematian, tentang cinta yang mati bukan di pusara.
Dan bunga mawar yang mengagumkan itu menjadi sangat merah, seperti mawar dari langit rimur. Merah sangat kelopaknya, dan merah sangat laksana ruby hatinya.
Namun suara Burung Bul-Bul semakin melemah, dan sayap kecilnya terkepak, dan selaput tipis membungkus matanya. Semakin lemah nyanyiannya, dan dia merasakan ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokkanya.
Lalu nyanyian terakhirnya pun pecah. Bulan pucat mendengarnya, hingga dia lupa akan fajar, dan tetap bergantung di langit. Mawar merah itu pun mendengarnya, dan dia menggigil karena suka-cita, dan membukakan kelopaknya untuk udara pagi yang dingin. Gema merambat ke dalam gua ungunya di atas bukit, dan membangunkan gembala dari mimpinya. Mengapung-apung menembus alang-alang di sungai, dan membawa pesan kepada samudera.
“Lihat, lihat!” pekik Pohon, “bunga mawarnya telah selesai;” tapi Burung Bul-Bul tidak menjawabnya, karena dia telah tergolek mati di rerumputan yang tinggi, dengan duri yang menancap di jantungnya.
Dan siang itu, Anak Sekolah membuka jendelanya dan melongok ke luar.
“Mengapa, sungguh kebetulan yang hebat!” teriaknya; “mawar merah ini, tidak pernah aku melihat mawar seperti ini sepanjang hidupku. Sungguh sangat indah, aku yakin dia punya nama Latin yang panjang”; dia merunduk dan memetiknya.
Kemudian dia memakai topinya, dan berlari ke rumah sang Professor dengan sekuntum mawar di tangannya.
Anak perempuan sang Professor sedang duduk di depan pintu memintal sutra biru, dan anjing kecilnya sedang berbaring di dekat kakinya.
“Engkau bilang akan menari denganku jika aku membawakanmu mawar merah,” kata Anak Sekolah. “Ini mawar yang paling merah di seluruh dunia. Kamu akan memakainya di dekat hati mu, dan ketika kita menari bersama, dia akan berkata betapa aku mencintaimu.”
Namun gadis itu mengerutkan wajahnya.
“Sepertinya itu tidak cocok dengan warna gaunku,” jawabnya; “dan selain itu, keponakan Chamberlain telah mengirimkan kepadaku beberapa permata, dan semua orang tahu bahwa permata lebih berharga daripada sekuntum bunga.”
“Tak ku sangka, ternyata engkau sangat tak tahu terimakasih,” kata sang Anak Sekolah dengan marah; dan dia melemparkan mawar merah itu ke jalan, yang kemudian jatuh ke comberan, dan terlindas roda kereta.  
“Tak tahu terimakasih!” kata gadis itu. “dengar, kamu sangat kasar; dan, lagipula, siapa kamu? Hanya seorang Anak Sekolahan. Aku bahkan ragu kalau engkau punya gesper perak seperti yang dimiliki keponakan Chamberlain”; dan dia beranjak dari tempat duduknya dan kemudian masuk ke dalam rumah.
“Sungguh Cinta itu sesuatu yang sangat bodoh,” kata Anak Sekolah itu sambil berlalu. “Dia tidak berguna, tidak setengahnya dari Logika, karena dia tidak membuktikan sesuatu, dan dia selalu berkata tentang sesuatu yang tidak pernah akan terjadi, dan membuat orang percaya hal-hal yang tidak benar. Bahkan sebenarnya, Cinta itu tidak praktis, dan, di jaman ini, kepraktisan adalah segalanya, rasanya aku akan kembali lagi ke Filsafat dan belajar Metafisik.”

Kemudian dia kembali ke dalam kamarnya dan mengambil sebuah buku besar yang berdebu, dan mulai membacanya.
----
Dialihbahasakan oleh Haru
April 2015

Senin, 20 April 2015

Ye eN We A'

Sejak awal dekade 90an, suporter Liverpool Football Club (LFC) seperti dipaksa menghayati bait pertama lagu kebangsaan mereka. Lagu yang ngajarin mereka tetap “mengangkat kepala” di tengah badai sambil menangis berharap akan menemukan pelangi di akhir perjalanannya. Dalam perjalanannya, para supporter LFC pun sempat kembali bersemangat dan percaya bahwa mereka telah sampai pada cahaya yang dijanjikan dalam lagu itu, “the golden sky and the sweet silver song of the lark,” – munculnya pemain yang menjanjikan (Gerrard, Owen, Torres, dll), menjuarai tropi FA, UEFA, European Super Cup, dan yang paling legendaris adalah Liga Champion 2005. Tapi alih-alih memasuki lagi masa keemasannya, LFC malah kembali medioker. Hih PHP!

Dulu, mungkin kita masih bisa menepuk dada duo serigala dengan jemawa bahwasanya LFC masih memegang rekor sebagai pemegang tropi Liga Inggris terbanyak, 19 buah. Tapi sejak negara api menyerang  klub-yang-punya-tetangga-yang-katanya-berisik itu melewati raihan tropi LFC, dada siapa yang harus kita tepuk? Paling sekarang senjata kita hanyalah “we won it five times” yang membosankan terkenal itu. Dan dengan kegagalan LFC meraih tiket Liga Champions, bukan tidak mungkin rekor itu bakal dilewati, cepat atau lambat. Lagian sih bangga we won it five times, harusnya sih lebih bangga we sholat five times. Betul? (red: baca dengan suara AA Gym).

Sekarang, beberapa Senin kita dikacaukan oleh LFC. Di kantor, di sekolah, di pasar, di tempat gosok akik, suporter LFC harus menahan perihnya pertanyaan yang sebenernya si penanya itu pun tidak butuh jawaban; “Piye Liverpul?.” Responnya gimana? Ya banyak, tergantung mz mz semua sukanya gimana, gak jawab tapi cemberut dan misuh dalam hati boleh, dijawab sekenanya sambil melengos terus pergi ya boleh, diselesaikan dengan main PS ya gapapa, apa mau diselesaikan di senayan juga monggo (tapi twitwar dulu). Namun, sebagai insan yang mengimplementasikan nilai-nilai keliverpulan yang luhur, saya mau usul salah satu cara menjawabnya. Yaitu dengan YNWA... ya Ye eN We A..... alias Yo Ndhes Wasyuog, Andaikan....... “Andaikan” memang kata yang mujarab, bisa buat ngeles dengan tidak terlihat rendah diri. “Andaikan” mengisyaratkan bahwa kita tahu lebih tentang pertandingan LFC, bahwa kita tahu apa yang salah dengan LFC, dan bahwa kita kelihatan tadi malem nonton pertandingannya walaupun sebenernya cuman nonton extended highlights-nya di goalsarena atau footyroom. Nah setelah kata “andaikan” itu boleh diisi dengan beberapa alternatif di bawah ini.

Pertanyaan musim lalu: “Piye Liverpul, gak sido juara?”

Alternatif jawaban:

“Yo Ndhes, Wasyuog, Andaikan Gerrard ora Kepleset”


Ya, insiden yang terjadi saat melawan klub-yang-katanya-punya-sejarah-tapi-supporternya-sampai-harus-disiapin-bendera-plastik-dan-yang-nyuruh-staff-nya-mengibarkan-banner-saat-pertandingan ini memberikan gelar Slippy G kepada Stevie G dan merupakan highlight dari musim lalu – bahkan lebih diingat daripada penampilan fantastis Suarez.

atau “Yo Ndhes Wasyuog, Andaikan pas kae Kolo Toure ora salah umpan ke Anichebe”

Anichebe gak ada hubungannya sama Anisa Chibi lho (suog, garing). Menit ke 66, LFC mempimpin 1 gol atas West Bromwich Albion, tidak tau Toure kesurupan apaan atau dia susah melihat Aly Cissokho karena gelap tiba-tiba dia memberikan umpan diagonal langsung kepada Anichebe. Dan Jebret! Ilang 2 poin LFC. Ya walaupun kalau menang juga poin akhirnya sama dengan tetangganya- klub-yang-punya-tetangga-yang-katanya-berisik sih, tapi kita masih bisa menambah daftar kambing hitam dengan kata
“.... opo meneh andaikan Allen ngegolke lawan klub-yang-tujuannya-berada-di-atas-peringkat-LFC”
Dan kita dapat tambahan 2 poin lagi, sehingga alibi kita makin kuat bahwa andaikan Toure dan Allen tidak blunder, LFC bisa juara. Tapi ya itu.... andaikan....

Pertanyaan musim ini: “Piye, Liverpul kalah (meneh)?”

Alternatif jawaban:

“Yo Ndhes, Wasyuog, Andaikan Markovic umpane bener terus Sterling iso ngegolke”

Versi andaikan ini adalah ketika LFC melawat ke Emirates Stadium. Tapi seandainya Sterling bisa menjangkau umpan Marko, apa iya LFC jadi gak kalah? Yo mbuh...seng penting alesan dhisik!

“Yo Ndhes, Wasyuog, Andaikan wasite ora picek!”

Ya ini alasan paling gampang. Menyalahkan wasit. Ada beberapa insiden meragukan yang apabila wasit jeli, keputusannya tidak akan bias ke tim lawan LFC. Seperti pas gol offside nya klub-yang-punya-tetangga-yang-katanya-berisik, atau yang paling mutakhir yaitu ketika malam tadi striker ter-sangar LFC gagal mengantarkan koran eh gagal menjadi pahlawan karena gol-nya dianulir padahal nggak offside. Wasite dibayar og....... yo mesti, mosok gratisan mz.

Begitulah tips and trik dari saya, tentunya anda bisa lebih kreatif lagi menambahkan alibi lain sesuai dengan kebutuhan, atau bahkan mengganti kata “wasyuog” dengan kata lain, “wuasyem” contohnya. Selamat menerapkan tips dan trik ini, semoga kita semua menjadi kaum yang menerapkan nila-nilai keliverpulan dengan khidmat dan konsisten.

Salam Ye eN We A’ – Yo Ndhes, Wasyuog, Andaikan pelatihe dudu Rojers #eh





Senin, 23 Maret 2015

He lost the footing…. and his head

“He lost his head, and launched it into Materazzi’s chest”

You know what I am talking about; an infamous incident in the final night of 2006 World Cup. A legend finished his time in such a way nobody will ever forget. In a final of the most prestigious tournament in the world, Zidane finished the game, and also his playing career, by headbutting the chest of Materazzi. Latter he revealed that the reason of his outrageous act is Materazzi insulted his mother and sister. In the end, France lost to Italy on Penalties. The story might have ended differently had Zidane not lost his temper.

the infamous headbutt

Zidane leaving the pitch, the cup, and the career
Last night, in a match ordained as the derby with most cards in England, a legend, to his people at least, was supposed to play his 33 derbies in a worth-remembered-manner. In fact, his last derby is worth-remembered, but not in the manner every Kopite would ever imagine, in the wildest even. His presence in the end of the tunnel at the beginning of the second half, with the captain armband, raised hope of every Kopite at Anfield that night. With the team trailing by a goal, against the fiercest rival, the charisma of a captain is surely an oasis in the middle of a dessert. But, nobody, even the supporter at the other end, expected what happened next. Gerrard’s time in the field lasted just 40 seconds short. A red card for intentionally stepping on the right leg of Ander Herrera ended his supposedly last North West Derby. Kopites can say it was harsh decision, that the referee got it wrong, that it was unfair, but at the end of the day we can all agree that such challenge has no place in football, and always will produce red card, except if it was Diego Costa, maybe.

the stomp that stop his shortcoming

you're out!!!
Zidane’s conduct may be unacceptable to some, but there are people who understand and defend him. Zidane stood for the honor of his mother and sister. He took the possible worst punishment as a professional because he believed that nobody should disparage his mother and sister; a belief that most people would agree on. He maybe lost his chance to hold the highest team prize a football player could achieve, but he sure not lost respect for the principle he hold. The Coup de tĂȘte statue initially erected in Centre Pompidou, France is the obvious proof.

Coup de tĂȘte

Gerrard reaction, in the other hand, was, according to his former team mate Carragher, result of his frustration. Frustration of seeing the team trailing, frustration of losing the automatic place in the squad, and  maybe frustration over the fact that he will end his last season mostly in the bench. That was very human, but that doesn’t make his conduct less unacceptable. For a player of his caliber, in the game of that importance, he should know how much the stake was put.

Unlike Zidane, Gerrard has time make up for his mistakes, to save his magnificent career as a redman. That match maybe was his last North-West Derby, but hopefully that was not his last match with LFC. And by then his professional career ends, whether in USA or in England, I hope we can see the statue of Gerrard stand, not the statue of his stomping Herrera, but the statue of one of his greatest time in LFC.

Zidane maybe threw his head into Matterazi’s chest, but he sure doesn’t lost his head; Gerrard maybe only lost his footing, but he sure lost his head   


Jumat, 13 Februari 2015

Hiro

Kamis, 12 Februari 2015, 22.18 WIB

Malam itu, seperti malam yang biasanya, aku menonton siaran ulang sepakbola di televisi dan istriku sibuk meninabobokkan anakku yang belakangan ini suka tidur sangat larut. Hingga sebuah ketukan pelan terdengar, diikuti pintu kamar yang membuka sedikit. “Mbak…eeemmm” suara pengasuh anakku terdengar agak bergetar. “Ada apa…” Tanya istriku sambil tetap memeluk anakku yang hampir tertidur. “Mbak…saya mau ijin pulang….adik saya mbak..kecelakaan…” suara pengasuh anakku tercekat. “Dia meninggal mbak….” kemudian tangispun meledak.

Aku dan istriku langsung beranjak dari tempat tidur, anakku bahkan ikut terbangun. Berita ini begitu mendadak, di tengah malam begini. “Aku tadi marahin dia, nyuruh dia pulang mbak…karena bapak lagi sakit… aku yang nyuruh mbak…” ratap pengasuh anakku sambil tersedu. Aku terduduk gemetar di tepi tempat tidur. Ini adalah sebuah keadaan yang sangat aku benci, sesuatu yang mendadak, datang tiba-tiba. Bibirku bergetar, mata dan pipi terasa hangat, aku bisa merasakan betapa besar sesal yang dirasakan oleh pengasuh anakku itu. Sementara istriku masih menenangkan mbak pengasuh anakku – dan juga anakku yang ikut terbangun -, aku beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba aku ingin cuci muka. Di dalam kamar mandi aku terduduk, rongga dadaku terasa menciut, sangat sesak. Sudah 10 menit aku ada di dalam kamar mandi, aku pun segera membasuh muka, kemudian menyekanya dengan handuk yang masih menggantung di cantelan baju. Aku keluar dari kamar mandi, ruang tengah terlihat gelap, rupanya lampu sudah dimatikan. Aku buka pintu kamar, terlihat istriku tertidur lelap, wajahnya terlihat lelah, di sampingnya, anakku pun sudah tertidur dengan tengkurap – posisi favoritnya – dengan dot yang masih menempel di mulutnya. Aku pun merebahkan badanku di kasur, menarik selimut, dan kemudian melanjutkan menonton siaran ulang Piala Asia 2014, kedudukan 2 -2 antara Irak dan UAE. Suasana sangat tenang, seperti biasanya, seperti malam kemarin, dan malam-malam sebelumnya. Tidak ada hal besar yang terjadi.

Kamis, 12 Februari 2015, 14.27 WIB

“Lho mas kok di rumah…” Tanya pengasuh anakku ketika melihatku keluar dari kamar mandi. “Iya…” jawabku singkat. “Tapi saya nggak liat mas masuk rumah….” Tanya pengasuh anakku; penasaran. “Iya mbak… nggak usah dipikirin… saya mau ngomong dikit sama mbak…” jelasku.

“Mbak…bapak kamu sakit, tapi sudah pulang dari rumah sakit, dia nggak mau bikin khawatir mbak makanya dia nggak bilang sama mbak…juga sama adik mbak…”
 “lho mas…tapi……”
“sik tho mbak….tak ngomong dulu….. nanti orang rumah bakal ngabari mbak…. Pesen saya mbak, jangan suruh adik mbak yang lagi kuliah buat pulang ke rumah …. Pokoknya jangan mbak….. biarin dia di kosannya dulu, nanti weekend bisa pulang…tapi jangan sekarang ya mbak…. Inget lho…. Ini penting mbak”
“tapi mas….nganu…. kok…”
“wis tho mbak…. Percaya sama aku yo…. Inget… jangan marahin adikmu, jangan suruh adikmu pulang malam ini….. yo!”

Mbak pengasuh anakku terlihat bingung, namun dia terdiam walaupun terlihat bahwa dia ingin sekali bertanya.
Aku bergegas; setelah melongok sebentar ke dalam kamar untuk melihat anakku yang sedang tidur siang, aku kemudian kembali masuk ke dalam kamar mandi.

Kamis, 12 Februari 2015, 22.48 WIB

“Pah… gimana ni, kita cari penerbangan yang paling pagi kali ya….” Suara istriku terdengar dari arah dapur. Aku terjaga dari lamunanku. “Iya mah, ntar aku cari di traveloka…..” jawabku sambil meraih handuk dan menyeka mukaku. Aku keluar dari kamar mandi, di ruang tengah, anakku sedang duduk sambil bermain dengan buku kesukaannya, istriku masih merangkul mbak pengasuh anakku yang menunduk sambil sesekali menyeka matanya yang basah.

“Ah…andai aku ini Hiro, si penjelajah waktu…”