Kamis, 28 Juli 2016

Orang Yang Ingin Saya Temui


Well, saya orangnya predictable, dan orang yang cukup kenal saya pun pasti bisa menebak siapa orang (-orang) yang pengen saya temui. Paling tidak, teman-teman saya yang di media sosial tahu kalau saya suka ngoceh tentang KPop khususnya SNSD, JKT48, dan Liverpool FC. Dari situ paling sudah tahu kan siapa tokoh yang mungkin saya pengen temui di dunia nyata? Tapi bukannya sombong ya, saya sudah pernah ketemu dengan SNSD, JKT48, dan pemain Liverpool FC. Ya walaupun bukan bertemu dan ngobrol, paling tidak pernah menghirup oksigen di dalam ruangan yang sama, dalam waktu yang sama.

Tapi, sudah pernah ketemu bukan berarti tidak mau ketemu lagi. Mau banget. Masa nggak mau ketemu lagi (dan mungkin ngobrol) sama YoonA, TaeYeon, Beby, Shania, Gerrard (eh udah nggak di Liverpool lagi ding). Namun demikian (jiah…), masalahnya adalah di balik kelakuan saya yang kadang clownish ini, saya adalah orang yang pemalu. Saya nggak bisa duduk cuman berdua, tatap muka, ngobrol sampai berjam-jam (mungkin kalau kejadian sama YoonA atau TaeYeon sih saya bisa berjam-jam…. Karena pingsan). Mungkin teman-teman mengenal saya sebagai orang yang rame, cerewet, bawel…. Iya, tapi cuman di balik layar handphone/gadget. I am naturally shy.

Kalau ada satu orang yang pengen saya temui, dia bukan tokoh sih, adalah my late aunty. Technically dia adalah tante saya, karena dia adalah adik dari ibu saya, tapi ibu saya menganggap dia sebagai anak perempuannya jadi saya memanggilnya mbak. Namanya Adiningsih, atau biasa dipanggil Mbak Ning. Dia adalah barber pribadi saya dan sepupu saya, penata rambut pribadi saya dan sepupu saya, pengarah fashion pribadi saya dan sepupu saya, dia adalah role model saya dan sepupu saya. We all really looked up to her, even my parents. Saya ingat siang itu, sehari sebelum ulang tahun saya, ketika kabar buruk sampai di telinga keluarga saya. Mbak Ning meninggal karena kecelakaan ketika hendak berangkat kerja. Oh iya, dia memang tinggal di kota yang berbeda dengan keluarga saya. Seandainya saya bisa ketemu, saya akan bilang bilang sama dia kalau saya dapat nilai tertinggi ke 3 pas lulusan SMP, saya akan membanggakan diri saya karena masuk kelas unggulan di SMA, karena masuk Universitas Negeri, dan masuk Kementerian Keuangan. Saya pengen mengenalkan dia sama istri saya, saya pengen mengenalkan dia sama anak saya, saya pengen mengajak dia liburan di Jakarta.


Oke, I think I need to stop here, because there is a freakin ninja cutting onion beside me

Kamis, 30 Juni 2016

Era Tontonan Saya

Tontonan sebagian masa anak dan remaja kita (pasti ni ada yang bilang lo aja kaleeee”) bisa digolongkan ke dalam beberapa fase. Fase Jepang, kemudian Amerika Latin, terus nggak berapa lama China/Taiwan, yang kadang berbarengan dengan India, kemudian ada balik lagi ke Taiwan, lalu ketika udah agak dewasa ada Korea, dan mungkin kalau sekarang masih mengikuti ada lagi Turki.

Mungkin sebelum jepang ada juga Amerika Serikat. Saya sempat mengalami nonton sitcom Amerika jadul macam Full House, atau Little Girl on a Prairie, tapi ya inget-inget lupa sih. Masa tontonan Jepang adalah masanya Anime dan film Super Sentai. Anime ada buanyaaaak: Saint Seiya, Sailor Moon, Doraemon, you name it. Dulu pas jaman nonton Ksatria Baja Hitam, saya nonton di rumah pak Kepala Desa, yang dapet “bocoran” parabola dari Wan Arab samping rumahnya. Saya inget banget kalau pas Ksatria Baja Hitam mulai itu berbarengan dengan telenovela (Maria Mercedes kalau ga salah), jadi kalau di rumah Wan Arab yang pegang remote istrinya maka sudah dijamin kalau channel nya diganti, dan yang dapet “bocoran” otomatis ikut ganti. Yang terjadi kemudian adalah anak-anak protes di depan rumah Wan Arab. Seru. Saya sih nggak nonton telenovela Amerika Latin, paling liat lagu intro nya Marimar aja, soalnya ada Thalia yang semlohay hahaha.

Kemudian tontonan China di jaman saya kecil adalah film Vampire. Bukan kaya vampire Eropa sih, tapi vampire china yang jalannya mirip pocong dan bisa berhenti kalau ditempelin kertas mantra. Jaman Bollywood, saya tidak terlalu suka, soalnya kelamaan filmnya, dan plotnya kebaca, tapi kalau Bollywood sekarang sih lebih bagus dari segi ceritanya, ya walau saya jarang nonton juga. Saat booming film Taiwan saya cuman nonton film sejuta umat Meteor Garden, oh sama MVP Lovers kalau ga salah.

Dan saat saya beranjak dewasa (baca: menua), Indonesia terkena Hallyu Wave, atau gampangnya: demam Korea (selatan). Saya menjadi salah satu korban. Dari semua pendahulunya, menurut saya Hallyu Wave ini adalah yang paling massif. Penyebaran drama, film, lagu, dan lain lainnya terlihat terstruktur dan didukung penuh oleh Pemerintah Korea Selatan. Hallyu Wave jadi ‘jualan’ nasional.

Buat saya, gampang sekali terjangkit demam ini. Pertama, saya tertarik karena mereka cantik (terlepas dari hasil operasi plastik atau bukan). Karena tak dipungkiri, tampang adalah hal pertama yang bisa menarik seseorang. Don’t judge the book by it’s cover they say, bagaimana mau pilih buku kalau gak liat covernya, nggak bisa baca judulnya hehe. Tertarik karena cantik, (dalam hal saya adalah pada Girls' Generations) kemudian saya kepoin lagunya, catchy... Walaupun ga paham bahasanya. Videonya juga enak dilihat, yaaaa kan cantik-cantik. Semakin lama, gak cuman nonton video klip lagu, kemudian merambah ke yang lain yaitu apa yang disebut variety shows. Nah bagusnya di sana, artis tuh selain harus pandai di bidangnya (misalnya penyanyi ya pandai nyanyi, aktor pandai akting) tuh harus punya ‘bakat’ lain, dan di variety shows ini lah itu ditunjukkan. Juga, tiap tiap artis punya persona/kepribadian yang mereka tunjukkan di media massa (misal si A itu personanya jadi orang yang lugu, agak bodoh, tapi nggemesin hehhe). Persona bisa beda sama kepribadian asli artis nya sih mungkin.

Belakangan, hallyu udah ga begitu terdengar gaungnya di Indonesia, atau mungkin sayanya aja yang gak update sih. Kaya trend trend lainnya, semua ada waktu dan periodenya sendiri. Sisa sisa demam hallyu wave saya masih bisa di lihat di nama anak saya, dan juga di hardisk komputer kantor saya hehehehe.

Kamis, 23 Juni 2016

Sederhana, bukan Rumah Makan

Hidup sederhanaaaa…..
Tak punya apa-apa tapi banyak cintaaa…….
 Potongan lagu Slank di atas nggak ada hubungannya sama tulisan ini, at least bagian “cinta”nya.


Saya anak kos sejak dalam pikiran. Dari SMA hingga sekarang, status saya masih “anak kos” jadi hidup sederhana adalah makanan sehari-hari saya. Tapi, let’s get it straight, sederhana adalah istilah yang subyektif. Hidup yang saya jalani sejak SMA hingga kuliah, mungkin dipandang sederhana, tapi buat saya itu hidup yang biasa saja. Makan dua kali sehari, sekali makan 2.500 rupiah (iya dulu di Semarang saya bisa dapet makan dengan uang segitu), itu sudah biasa, bukan sederhana untuk ukuran saya sih.


Ada sih dulu pas SMA, saya mengetatkan budget makan untuk menyisihkan uang demi beli kaset tape The Moffats. Atau pas dulu kuliah saya ga sengaja pake uang jajan buat beli sepatu bola bajakan, ya walaupun cuman 90 rebu. Jadi waktu mau nulis tentang hidup sederhana, saya jadi agak bingung mau nulis apa. Hehehehehe


Ngomong-ngomong tentang sederhana, saya jadi inget sebuah line yang cukup sering dikutip orang orang: “Bahagia itu Sederhana” – Saya sih tidak setuju. Menurut KBBI arti dari “bahagia” adalah n. keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan); dan perasaan seperti itu tidak sederhana kawan. Bahagia itu lebih dari senang. Perasaan bahagia adalah perasaan senang yang paripurna, yang membebaskanmu dari segala beban, dan itu tidak sederhana. Yang sederhana mungkin adalah caramu mencapai rasa bahagia, tapi bahagia itu tidak sederhana. Jadi saya lebih senang bilang “(dengan) sederhana pun kita bisa bahagia.”


Boleh ga setuju sih sama saya.

Kamis, 16 Juni 2016

Lagu Itu

Kalau ngomong masalah lagu yang berkesan, hanya satu lagu yang mampir di ingatan. "More Than Word".  Mainstream sih, tapi ada beberapa alasan lain yang bikin saya inget terus lagu ini.

Ceritanya agak cinta cintaan sik. Gapapa ya. Jadi dulu saya nembung mbak-yang-sekarang-jadi-ibu-dari-anak-saya pake lagu ini. Technically nggak nyanyi sih, tapi saya nggitar doang.

Sore itu saya dan temen temen main PS saya sudah mengatur sedemikian rupa agar ba'da maghrib mbak inceran saya itu dikondisikan berada di beranda kosannya. Sebelumnya saya, dibonceng temen saya tentunya, udah pergi beli bunga mawar, setangkai doang 2.500 rupiah. Ngirit. Hehehe.

Di waktu yang sudah ditentukan, datanglah saya dan teman saya dengan menyamar jadi pengamen (sumpah ini ide sok asik banget). Saya nggitar more than words, temen saya tepuk tepuk doang karena dia gak apal lagunya. Kalau saya yang nyanyi ntar ketahuan, lagian nanti dia ilfeel denger suara saya. Kan repot. Waktu si mbaknya ngasih uang, saya membuka penyamaran... Jeng jeeeeeng... Sambil bawa mawar 2.500 perak. Long story short, so mbak nya sekarang udah jadi mamanya anak saya.

Dan setelah saya ingat ingat, saya belajar nggitar More Than Words itu dari cowok yang ternyata suka sama mbak nya itu. Hehehehehe. Sampai sekarang, temen temen kuliah suka nge-ceng-in saya masalah lagu itu.

Rabu, 08 Juni 2016

Apa Itu, Cinta?

Syahdan, di malam minggu sehabis hujan, dua sejoli terlihat berjalan beriringan dengan tangan saling terpaut; menyusuri jalan setapak yang terlihat seperti terowongan karena dipayungi rimbun pohon di kanan kirinya. Rangga dan Cinta, nama keduanya, adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.

“Apa….. Itu…… Cinta?” tanya Rangga, sembari mengayun kakinya melalui genangan air di tepi jalan.

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat luas, beribu kalimat tidak akan mampu menjawabnya, namun Cinta sadar, Rangga adalah seorang yang sangat nyastra, maka dia tahu kalau Rangga mengharapkan jawaban yang juga nyastra.

“Ia mengerling. Ia ketawa 
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari”

Cinta menyitir puisi Chairil Anwar. “Cinta itu yang membakar dan terus menyala, dan yang membuat darahku berhenti berlari saat mendengar suaramu.”

Rangga terdiam, tidak bereaksi. Seolah jawaban Cinta hanyalah gemerisik daun pohon ara yang diterpa desau angin malam.

“Mungkin jawabanku kurang memuaskan, baiklah, mungkin aku harus mengutip perkataan dari tokoh asing, biar terlihat lebih edgy” Cinta membatin.

“Love is an untamed force. When we try to control it, it destroys us. When we try to imprison it, it enslaves us. When we try to understand it, it leaves us feeling lost and confused; itu kata Coelho!

Rangga tetap terdiam, bahkan kali ini mukanya terlihat pucat. Cinta bingung, mungkinkah Rangga tidak paham bahasa Inggris yang dia katakan, bahkan Cinta pun sebenarnya bingung.

“Aaaapa…. Ittttuuu…. Cintttaaaa…. “ Akhirnya Rangga membuka suara, dengan terbata.

“Ya itu tadi, masa harus aku ulang lagi sih!!!” Cinta mulai kesal.

“BBuuukkkaaaan…..”

“Terus apa? Yang jelas dong…. Jangan kaya cewek!!!!” Hardik Cinta.

“Ittuuu… Apppaa… Itttuuuu…. Cinttttaaa….. Itttuuuu … Yang…. Di atas…. Pppooohhhhoooonnnn…. “ Rangga setengah berteriak sambil menunjuk dahan pohon Ara di depannya.

Cinta mendongak ke atas melihat ke dahan pohon Ara, dan melihat sosok dengan rambut panjang menjuntai sedang mengayunkan kakinya sambil duduk di dahan.


Dan merekapun berdua Pingsan.


PS: Maaf ya..... Tema arisan blognya susah soalnya heuheuheu

Selasa, 31 Mei 2016

Tentang Menikah dan Cinta (a cringe-worthy title indeed)

Tema: Jika kamu boleh memilih. Kamu lebih menginginkan untuk menikahi orang yang kamu cintai, atau mencintai orang yang kamu nikahi.

Agak susah, nerjemahin maksudnya juga nulisnya. Oke, mungkin maksudnya gini, asumsikan kamu belum nikah dan jikalau kamu harus menikah, kamu bakal milih orang yang kamu cintai untuk dinikahi atau kamu bakal milih orang yang, walaupun nggak kamu benci, nggak kamu cintai dengan harapan nanti kalau udah nikah kamu bisa belajar mencintai dia. Tambah susah dipahami? Emang sengaja.

Kalau pilihan saya sih, saya bakal milih menikahi orang yang saya cintai. Kenapa? Karena saya nggak pinter bohong. Saya nggak bisa membohongi orang yang mau saya nikahi kalau ternyata saya tuh nggak mencintai dia. Saya nggak mendewakan cinta, tapi saya realistis. Menikah, buat saya merupakan pilihan yang penting; dan pilihan harus memiliki sebuah dasar. Mungkin dasar bagi orang lain bisa berbeda, tapi buat saya salah satu dasar yang penting adalah suka, atau cinta (whichever you like to call it). Menikahi orang yang saya cintai juga berarti mencintai orang yang saya nikahi.

Yang saya pahami dari “mencintai orang yang kamu nikahi”di tema yang diajukan di atas, adalah sebelum menikah kamu nggak cinta sama pasangan yang akan kamu nikahi tapi nanti setelah nikah akan belajar mencintai dia, begitu? Emang bisa ya? Mungkin bisa, mungkin juga tidak. Kalau kamu bisa, good for you, and your spouse; kalau tidak bisa, good luck living your rest of marriage that is made of bricks of lie.


Satu hal lagi yang penting selain saya harus mencintai orang yang akan saya cintai adalah orang yang saya mau nikahi haruslah orang yang mencintai saya. Because it takes two to tango.

Selasa, 24 Mei 2016

PAGI ITU

Nafasnya terengah, keringat sebulir jagung meleleh di dahi; Rokhim terbangun dari tidurnya. Sudah tiga malam berturut-turut mimpi yang sama membuat dia terbangun dini hari. Di sampingnya, Inah, istrinya, menggeliat sambil menarik selimut yang sudah turun ke kaki. Rokhim hendak membangunkannya, namun kemudian dia mengurungkan niat itu.

Pagi itu seperti biasa, sebelum berangkat ke kantor, Inah selalu menyiapkan sarapan untuk Rokhim dan Rohman, anak semata wayang mereka. Hari ini, hari pertama Rohman masuk kelas 6 SD. Sarapan sudah tersedia di meja makan, namun belum ada seorangpun yang menduduki kursinya. Semenjak beberapa bulan belakangan, keluarga ini memang jarang memiliki waktu sarapan bersama. Sejak surat PHK diterimanya, Rokhman hanya bangun pagi untuk menikmati kopi hitam kesukaannya lalu melanjutkan tidur lagi. Sarapan yang disediakan oleh Inah biasanya akan dimakan nanti agak siang.

Sambil mengaduk kopi pahit kesukaan suaminya, Inah melongok mencari keberadaan orang-orang. Kamar tidurnya kosong, Rokhim sudah bangun rupanya. Rohman pun tidak tampak terlihat di manapun. Dengan menenteng cangkir, Inah masuk ke dapur mencari keberadaan suami dan anaknya.

Prang!!!! Suara cangkir beradu dengan lantai keramik memecah kesunyian pagi di dalam rumah itu. Inah terkulai lemas bersender di kusen pintu dapur. “Ini perintah Tuhan, Inah. Perintah Tuhan yang Dia berikan dalam mimpiku!….. anak kita pasti masuk surga!”


Hening sesaat, sebelum kemudian tangis Inah meledak.